Kemarin, saya mendengar sebuah kutbah selepas solat zuhur di masjid di lingkungan kementerian keuangan, dimana sang pengkotbah menganjurkan para pendengarnya untuk mempelajari bahasa Arab. Alasan beliau antara lain kira-kira, bagaimana mungkin seorang muslim (ajam) dapat men-tadabbur-i Al Quran jika ia tidak faham bahasa Arab. Tidak sempurna pengetahuan seorang muslim akan Al Quran jika ia tidak menguasai bahasa Arab. Kemudian, sang penceramah mengutip pendapat Imam Syafi'i yang konon mengatakan bahwa mempelajari bahasa Arab adalah wajib hukumnya bagi seluruh muslim. Konsekuensi-nya, meninggalkannya adalah dosa.
Ketika mendengarkan ceramah ini, dalam hati saya tidak setuju dengan pendapat Imam Syafi'i. Saya langsung teringat kepada Injil. Lho, kok bisa?
Begini. Sepengetahuan saya, berdasarkan kesaksian dari Papias, yaitu seorang Bapa Gereja terdahulu, Injil Matius itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani. Pernyataan ini sangat menarik, kontroversial, sekaligus masuk akal. Mengapa kontroversial? Karena, naskah Injil tertua yang dapat ditemukan adalah berbahasa Yunani. Bahkan, nama "Injil" pun juga diambil dari bahasa Yunani "euaggelion" yang berarti "Kabar Baik".
Namun, pernyataan tersebut juga sangat masuk akal karena sebagaimana diketahui bahwa Yesus adalah seorang Yahudi, maka tentu saja sangat mungkin bahwa beliau dalam kehidupan sehari-harinya berbahasa Ibrani, bukan bahasa Yunani. Apalagi ditambah pendapat beberapa scholars dan pendeta dan atau rabbi (salah satunya Nehemia Gordon) yang berhasil mendemonstrasikan bahwa Injil yang asli ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan Yunani.
Kalau benar bahwa Injil yang asli ditulis dengan bahasa Ibrani (sepertinya memang benar demikian), maka tidak masalah jika Kitabullah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, tanpa mengurangi kesucian dari Kitab Allah tersebut. Buktinya, kitab yang diturunkan kepada Yesus atau Nabi Isa selalu disebut dengan kitab "Injil" yang kemungkinan besar hanya merupakan kitab terjemahan.
Bart D. Ehrman pernah menuluis bahwa mempelajari Kitab Injil dalam bahasa aslinya yakni Koine Greek dibandingkan membaca terjemahan ibarat seperti melihat foto/ film berwarna versus hitam putih. Kalau kita melihat foto/ film hitam putih, kita masih bisa mengerti maknadari foto/film tersebut, namun kita akan kehilangan banyak warna.
Demikian juga pendapat saya tentang belajar bahasa Arab guna memahami Al Quran. Saya yakin bahwa belajar bahasa Arab adalah suatu hal yang baik bagi seorang muslim, namun ia tidak wajib. Perumpaannya adalah seperti seorang penggemar astronomi (seperti saya misalnya, hehehe) yang sering mengagumi keindahan langit malam dengan mara telanjang, dengan binoculars, atau dengan teleskop; tapi tidak dengan astro-photography. Perlu diketahui bahwa hanya dengan menggunakan astro-fotografi saja maka galaksi dan nebula akan tampak berwarna-warni seperti gambar di buku atau di internet. Namun, kita masih dapat mengagumi keindahan langit malam dengan mata telanjang atau dengan binoculars, walaupun yang jelas kita akan kehilangan banyak warna dibandingkan dengan jika kita mengabadikannya dengan astro-photography. Masalahnya, tidak semua orang mampu membeli peralatan astro-photography sebagaimana tidak semua orang memiliki bakat untuk mempelajari bahasa Arab. (Bahasa Arab sendiri dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu bahasa yang paling sulit dipelajari.)
Saya percaya bahwa kita tidak perlu mempelajari bahasa Arab untuk bisa mentadabburi Al Quran. Saya rasa dengan membaca terjemahan Al Quran pun bisa membuat seorang muslim mampu mentadabburi Al Quran, walaupun tentu saja ia akan kehilangan banyak "warna", sebagaimana seorang astronomer amatir yang melihat galaksi andromeda atau lagoon nebula (misalnya) dengan menggunakan binoculars hanya sebagai sesuatu yang kabur seperti awan tak berwarna , sementara di text book atau di internet ia digambarkan sebagai sesuatu yang sangat indah dan penuh warna, namun hal itu tidak mencegah sang astronom untuk mengagumi keindahan langit ciptaan Tuhan.
Bagi saya, seorang yang mengaku sebagai penggemar astronomi tidak perlu memiliki peralatan astro-fotografi. Bahkan ia tidak harus memiliki teleskop atau (keker) binoculars. Cukup dengan mata telanjang saja, ia bisa mempelajari astronomi dan peta langit. Tentu saja, seseorang yang mengaku penggemar astronomi harus memiliki pengetahuan dasar tentang peta langit, dan bukan hanya tahu tentang bulan saja, namun tidak bisa membedakan antara planet venus dan bintang sirius (misalnya).
Demikian juga dengan menjadi seorang muslim. Ia wajib memiliki pengetahuan dasar tentang Islam, khususnya mengenai tauhid, namun ia tidak wajib mempelajari bahasa Arab.
Just my opinion.
Ketika mendengarkan ceramah ini, dalam hati saya tidak setuju dengan pendapat Imam Syafi'i. Saya langsung teringat kepada Injil. Lho, kok bisa?
Begini. Sepengetahuan saya, berdasarkan kesaksian dari Papias, yaitu seorang Bapa Gereja terdahulu, Injil Matius itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani. Pernyataan ini sangat menarik, kontroversial, sekaligus masuk akal. Mengapa kontroversial? Karena, naskah Injil tertua yang dapat ditemukan adalah berbahasa Yunani. Bahkan, nama "Injil" pun juga diambil dari bahasa Yunani "euaggelion" yang berarti "Kabar Baik".
Namun, pernyataan tersebut juga sangat masuk akal karena sebagaimana diketahui bahwa Yesus adalah seorang Yahudi, maka tentu saja sangat mungkin bahwa beliau dalam kehidupan sehari-harinya berbahasa Ibrani, bukan bahasa Yunani. Apalagi ditambah pendapat beberapa scholars dan pendeta dan atau rabbi (salah satunya Nehemia Gordon) yang berhasil mendemonstrasikan bahwa Injil yang asli ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan Yunani.
Kalau benar bahwa Injil yang asli ditulis dengan bahasa Ibrani (sepertinya memang benar demikian), maka tidak masalah jika Kitabullah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, tanpa mengurangi kesucian dari Kitab Allah tersebut. Buktinya, kitab yang diturunkan kepada Yesus atau Nabi Isa selalu disebut dengan kitab "Injil" yang kemungkinan besar hanya merupakan kitab terjemahan.
Bart D. Ehrman pernah menuluis bahwa mempelajari Kitab Injil dalam bahasa aslinya yakni Koine Greek dibandingkan membaca terjemahan ibarat seperti melihat foto/ film berwarna versus hitam putih. Kalau kita melihat foto/ film hitam putih, kita masih bisa mengerti maknadari foto/film tersebut, namun kita akan kehilangan banyak warna.
Demikian juga pendapat saya tentang belajar bahasa Arab guna memahami Al Quran. Saya yakin bahwa belajar bahasa Arab adalah suatu hal yang baik bagi seorang muslim, namun ia tidak wajib. Perumpaannya adalah seperti seorang penggemar astronomi (seperti saya misalnya, hehehe) yang sering mengagumi keindahan langit malam dengan mara telanjang, dengan binoculars, atau dengan teleskop; tapi tidak dengan astro-photography. Perlu diketahui bahwa hanya dengan menggunakan astro-fotografi saja maka galaksi dan nebula akan tampak berwarna-warni seperti gambar di buku atau di internet. Namun, kita masih dapat mengagumi keindahan langit malam dengan mata telanjang atau dengan binoculars, walaupun yang jelas kita akan kehilangan banyak warna dibandingkan dengan jika kita mengabadikannya dengan astro-photography. Masalahnya, tidak semua orang mampu membeli peralatan astro-photography sebagaimana tidak semua orang memiliki bakat untuk mempelajari bahasa Arab. (Bahasa Arab sendiri dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu bahasa yang paling sulit dipelajari.)
Saya percaya bahwa kita tidak perlu mempelajari bahasa Arab untuk bisa mentadabburi Al Quran. Saya rasa dengan membaca terjemahan Al Quran pun bisa membuat seorang muslim mampu mentadabburi Al Quran, walaupun tentu saja ia akan kehilangan banyak "warna", sebagaimana seorang astronomer amatir yang melihat galaksi andromeda atau lagoon nebula (misalnya) dengan menggunakan binoculars hanya sebagai sesuatu yang kabur seperti awan tak berwarna , sementara di text book atau di internet ia digambarkan sebagai sesuatu yang sangat indah dan penuh warna, namun hal itu tidak mencegah sang astronom untuk mengagumi keindahan langit ciptaan Tuhan.
Bagi saya, seorang yang mengaku sebagai penggemar astronomi tidak perlu memiliki peralatan astro-fotografi. Bahkan ia tidak harus memiliki teleskop atau (keker) binoculars. Cukup dengan mata telanjang saja, ia bisa mempelajari astronomi dan peta langit. Tentu saja, seseorang yang mengaku penggemar astronomi harus memiliki pengetahuan dasar tentang peta langit, dan bukan hanya tahu tentang bulan saja, namun tidak bisa membedakan antara planet venus dan bintang sirius (misalnya).
Demikian juga dengan menjadi seorang muslim. Ia wajib memiliki pengetahuan dasar tentang Islam, khususnya mengenai tauhid, namun ia tidak wajib mempelajari bahasa Arab.
Just my opinion.
Komentar
Posting Komentar