Langsung ke konten utama

Dosa Warisan atau Dosa Asal? Is that even Possible?

Dalam doktrin agama Kristen dikenal adanya konsep dosa warisan, yaitu dosa yang diwariskan oleh Adam manusia pertama kepada seluruh keturunannya, tepatnya ketika Adam memakan buah terlarang sehingga menyebabkan Tuhan murka kepada Adam. Hal ini digambarkan dalam Kitab Kejadian 3:17-19: Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah  tanah  karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu:  3:18 semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; 3:19 dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu."

Namun, hal ini terutama dipertegas oleh Paulus dari Tarsus dalam suratnya kepada orang-orang Roma Pasal 5 ayat 12-19 sbb:

5:12 Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang,  dan oleh dosa  itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa ... . 5:18 Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman....   

Itulah keyakinan orang Kristen pada umumnya, bahwa karena kesalahan seorang manusia (Adam), maka seluruh keturunannya harus ikut mewariskan dosa dan menanggung hukumannya. 

Pada awalnya, sebagai seorang muslim, tentu saya tadinya tidak percaya dengan dosa warisan, karena saya yakin bahwa setiap orang menanggung dosanya masing-masing (ref: Al Isra 15), dan dosa bapak tidak ditanggung oleh anaknya, dan juga sebaliknya. (Walaupun pada kenyataannya dosa "warisan" itu mungkin memang terjadi, misalnya anak seorang koruptor akan terkena getah dari perbuatan orang tuanya, atau anak hasil dari zina akan dianggap "hina" oleh masyarakat, atau anak seorang eks-komunis akan sulit memperoleh pekerjaan). 

Tetapi benarkah memang demikian, bahwa there is no such thing as the original sin? Semakin lama dan semakin banyak saya membaca Alkitab dan buku-buku agama tentang the Noahides, khususnya ketika saya membaca bukunya rabbi Ariel B. Tzadok yang berjudul The Greatest Story Never Told: Torah, not for Jews Only, saya merasakan bahwa dosa warisan, atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai dosa asal (the original sin) bukanlah sesuatu yang mustahil. Bahkan ia cukup masuk akal, karena ia "didukung" oleh sejumlah ayat Alkitab, dan terutama sejumlah hadits Nabi. (Catatan: dalam buku The Greatest Story Never Told, rabbi Ariel B. Tzadok tetap menyangkal adanya dosa warisan).

Sebelumnya harus saya tegaskan dulu bahwa sebenarnya istilah yang tepat bukanlah dosa warisan, melainkan dosa asal. Kalau dosa warisan terkesan bahwa karena kesalahan seorang Adam, maka kita semua harus menanggung akibat dari dosa tersebut, dan ini sesuatu yang mustahil bahwa karena kesalahanan seseorang, maka orang lain yang tidak ikut terlibat sama sekali, ikut menanggung akibatnya. Maka konsep dosa warisan tersebut adalah sesuatu yang tidak masuk akal jika ingin dikompromikan dengan sifat Maha Pemurah Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun jika istilah yang digunakan adalah dosa asal, maka ini akan menjadi berbeda.

Memangnya apakah ada bedanya antara dosa warisan dengan dosa asal (the original sin)

Kesannya sangat berbeda! Jika menggunakan istilah dosa warisan, maka tersirat bahwa kita tidak terlibat dalam dosa yang dilakukan oleh Adam, namun kita harus menanggungnya hanya karena kita keturunan Adam. Sedangkan jika menggunakan istilah dosa asal (the original sin), maka ada kemungkinan bahwa kita sebenarnya ikut terlibat ketika Adam melakukan dosa dengan memakan buah terlarang!

Seperti saya singgung sebelumnya, bahwa saya terinspirasi akan hal ini  ketika saya membaca bukunya rabbi Ariel B. Tzadok yang berjudul The Greatest Story Never Told: Torah, Not for Jews Only.

Dalam salah bab 4 pada buku tsb, rabbi Ariel B. Tzadok menuliskan bahwa Adam sang manusia pertama sebenarnya adalah gabungan dari seluruh jiwa manusia  yang merupakan keturunannya (all souls of humanity). Setiap sel (cell) dari tubuh Adam sebenarnya adalah setiap jiwa individu yang sadar. Manusia, secara bersama-sama, mengalami penderitaan dari nasib Adam, bukan sebagai keturunannya, melainkan sebagai bagian dari jiwanya secara kolektif. Setiap jiwa adalah entitas yang independen, dan setiap jiwa memiliki tanggung jawab untuk kembali kepada Tuhan (bandingkan dengan Al Fajr 27-28)

Is that Even Possible? Yes, it is.

Ya, hal ini sangat mungkin. Ada sejumlah ayat Alkitab maupun ayat Al Quran dan hadits yang mengindikasikan bahwa kita semua, setidaknya jiwa-jiwa kita, mungkin memang sudah ada sejak zaman Nabi Adam. (bd: Al Fajr 27-28)

Pertama, Kitab Kejadian Pasal 4 ayat 10 dan 11, yang kalau Anda hanya membaca versi terjemahan dari ayat tsb, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris,  maka ayat tersebut tidak akan berarti apa-apa, dan seolah tidak ada kaitannya dengan dosa asal. Namun, jika Anda membaca ayat tersebut dalam bahasa Ibrani, atau Anda membaca penjelasannya dari rabbi-rabbi Yahudi, barulah Anda akan memahami bahwa ayat tersebut sangatlah menarik, dan menguatkan klaim dari rabbi Ariel B. Tzadok dalam bukunya tersebut di atas. Kalau dalam bahasa Inggris, ayat tersebut seharusnya diterjemahkan sbb:

10 And He said, “What have you done? The voice of your brother’s bloods cry out to Me from the ground. 11 So now you are cursed from the earth, which has opened its mouth to receive your brother’s bloods from your hand."

Ya, kata darah dalam ayat Genesis tersebut berbentuk jamak (plural), atau darah-darah. Berdasarkan penjelasan dari ahli-ahli Taurat, kata darah yang berbentuk jamak tersebut mengisyaratkan bukan hanya darah Habel, namun juga termasuk darah seluruh keturunannya di masa yang akan datang (the potential/future descendants of Abel). Justru calon keturunan Habel itulah yang protes dan meminta keadilan kepada Tuhan. Dan Kejadian 4:10 bukanlah satu-satunya ayat yang menuliskan kata darah dalam bentuk plural, padahal darah yang dimaksud sebenarnya hanyalah darah satu orang. Ayat lain ada di dalam Kitab 2 Raja 9:26 dan 2 Tawarikh 24:25, dimana ayat tsb seharusnya dimaknai darah Nabot dan darah anak-anaknya, serta darah anak Yoyada beserta darah keturunannya. Dengan demikian penyebutan kata darah dalam bentuk jamak berarti darah orang tsb beserta darah para calon keturunannya yang sebenarnya belum lahir ke dunia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa jiwa-jiwa kita mungkin saja sebenarnya sudah eksis jauh sebelum kita masing-masing lahir ke dunia ini, atau mungkin lebih tepatnya jiwa-jiwa kita ini mungkin sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam.

Bagaimana dengan Al Quran? Apakah Al Quran mendukung hal semacam ini?

Ya, justru hal yang sama juga ada di dalam ayat AL Quran yang pertama kali diturunkan, yaitu surat Al Alaq ayat kedua (khalaqal insaana min alaq). Kata insan (manusia) dalam ayat tsb berbentuk tunggal, namun ternyata kata alaq (darah) dalam ayat tersebut berbentuk jamak (plural). Seharusnya bentuk tunggal dari kata darah dalam bahasa Arab adalah alaqah.

Bukti lain dari Kitab Mazmur (Psalms)

Ayat lain yang sering dijadikan sebagai dalil adanya dosa asal adalah Kitab Mazmur 51:5 dan 58:3. Dalam ayat Mazmur 51:5 Nabi Daud berkata: “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku”

Sedangkan  dalam Psalm 58:3 dikatakan bahwa sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, dan sejak dari kandungan para pendutsa telah sesat.

Bagaimana mungkin seorang janin yang masih dalam kandungan sudah dianggap berdosa, apalagi kalau calon bayi tsb adalah Daud himself, yang bahkan membuat Adam manusia pertama sangat tertarik kepadanya, bahkan Adam rela memberikan sebagian dari umurnya kepada Daud. Hal ini hanya mungkin terjadi jika, dan hanya jika, dosa asal itu memang ada.

Kembali kepada pernyataan rabbi Ariel B. Tzadok bahwa Adam manusia pertama sebenarnya adalah "collective souls" atau gabungan dari seluruh jiwa manusia yang ada sejak manusia pertama sampai manusia terakhir, mengingatkan saya kepada surah Al A'raf 172 beserta hadits terkait. Dalam surat Al A'raaf 172 dinyatakan: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?". Mereka menjawab, "Benar, kami bersaksi...." 

Ketika mengomentari ayat tersebut, ibnu Jarir ath Thabari menyampaikan sejumlah hadits tentang Tuhan menepuk punggung Adam, dan kemudian dari punggungnya keluarlah seluruh keturunannya. Beberapa hadist tsb saya sampaikan di sini:

Ahmad bin Muhammad Ath-Thusi menceritakan kepadaku, ia berkata: Al Husein bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: Jarir bin Hazim menceritakan kepada kami dari Kultsum bin Jubair, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,  "Allah mengambil perjanjian dari pundak Nabi Adam di Na'man, -yaitu di Padang Arafah-, maka keluarlah setiap keturunan dari sulbinya. Mereka disebarkan di depan Nabi Adam seperti debu yang betebaran. Kemudian Allah berfirman kepada mereka,"Bukankah Aku Tuhanmu?". Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi..."

Imran bin Musa menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Waris menceritakan kepada kami, ia berkata: Kultsum bin Jubair menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku bertanya kepada Sa'id bin Jubair tentang firman Allah, "Dan (ingatlah), ketitra Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka." Ia berkata: Aku menanyakannya kepada Ibnu Abbas, lalu ia menjawab, "Tuhanmu mengusap punggung Nabi Adam, maka keluarlah seluruh manusia yang Dia ciptakan hingga Hari Kiamat, di Na'man ini -ia menunjuk dengan tangannya-, kemudian Allah mengambil perjanjian dari mereka dan meminta kesaksian dari diri mereka dengan berfirman, (Seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu"? Mereka meniawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)."

Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengusap punggungnya maka keluarlah seluruh keturunannya seperti debu yang beterbangan. Dia jadikan mereka berbicara, lalu mereka berbicara Dia meminta kesaksian dari diri mereka lalu Dia menjadikan cahaya bersama sebagian mereka. Dia berkata kepada Adam, 'Mereka adalah keturunanmu, Aku telah mengambil perjanjian dari mereka bahwa Aku adalah Tuhan mereka, agar mereka jangan mempersekutukan-Ku dengan apa pun, bahwa rezeki mereka ada pada-Ku." Adam berkata, "Siapakah yang bersamanya itu ada cahaya|" Allah menjawab, "Dia adalah Daud." Adam bertanya" "Berapakah usia yang telah Engkau tuliskan untuknya?" Allah menjawab, "Enam puluh tahun." Adam bertanya "Berapa yang engkau tuliskan untukku?" Allah menjawab, "Seribu Tahun. Telah Aku tuliskan untuk setiap manusia itu berapa usianya dan berapa lama mereka akan hidup." Nabi Adam berkata, "Wahai Tuhan, tambahlah." Allah berfirman, "Kitab ini telah dibuat, berikanlah dari usiamu jika engkau mau." Nabi Adam menjawab, "Ya."

Dari hadits-hadits tersebut di atas  tersirat bahwa sejatinya kita semua seluruh umat manusia, baik yang telah lahir maupun yang belum lahir, pada hakikatnya telah exist (telah ada) sejak zaman Nabi Adam. Artinya, ketika Nabi Adam berdosa dan memakan buah terlarang, mungkin sebenarnya kita pun merupakan bagian dari Adam. Bahkan mungkin justru jiwa-jiwa kita yang pada saat itu ada di dalam tubuh Nabi Adam, atau yang merupakan bagian dari Adam, justru kitalah yang paling ingin menikmati buah terlarang tersebut. Maka dengan demikian tidak mengherankan bahwa dosa asal itu masuk akal, sehingga wajar jika kita memang harus menanggung dosa tersebut. 

Pemahaman bahwa kita seluruh umat manusia yang hidup saat ini dan bahkan anak kita yang belum lahir ke dunia ini, pada hakikatnya adalah satu dengan Adam juga diindikasikan oleh surah Al A'raf ayat 10-11, dimana pada ayat ke sepuluh hingga awal ayat ke sebelas, Tuhan masih menyebutkan kita manusia dalam bentuk jamak, namun pada pertengahan ayat kesebelas, sebutan tersebut tiba-tiba berganti menjadi Adam. "Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu (jamak) di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu (jamak). (Tetapi) sedikit sekali kamu (jamak) bersyukur. Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu (jamak), kemudian membentuk (tubuh)mu (jamak), kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, "Bersujudlah kamu kepada Adam," maka mereka pun sujud kecuali Iblis."

Sebutan kamu (manusia dalam bentuk jamak) yang tiba-tiba berganti menjadi Adam (nama satu orang) seolah-olah mengisyaratkan bahwa kita semua umat manusia sebenarnya identik dengan seorang manusia yang bernama Adam, sang manusia pertama. Dengan kata lain umat manusia interchangeable dengan Adam. Sehingga, ketika Al Quran menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan merugi, atau manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya, namun akan dikembalikan ke tempat kembali yang buruk, maka ia bisa mengacu kepada Adam (satu manusia) atau umat manusia (banyak orang). Dengan demikian, ketika Adam berbuat dosa, maka barangkali seluruh manusia pun turut berdosa.

Selain itu, bahwa dosa asal itu mungkin memang ada, semakin diperkuat dengan banyaknya ayat Al Quran yang menyuruh manusia untuk bertobat, seperti misalnya surat Hud ayat ketiga, yang belum apa-apa sudah memerintahkan manusia untuk memohon ampun dan bertobat kepada Allah. 

Ketika membaca ayat ini, saya membayangkan jika ayat ini dibaca oleh seorang muslim yang masih muda, yang sejak kecil sudah dididik oleh kedua orang tuanya dengan sangat baik, sehingga anak tsb sejak kecil sudah terjaga akidahnya dan dia juga tidak pernah melakukan dosa-dosa besar. Kalau si anak sholeh tsb membaca ayat ini, dan ingin mengimplementasikannya, saya bingung, dia harus bertobat dari dosa yang mana? Apakah dari dosa-dosa kecil yang sebenarnya kemungkinan besar akan diampuni juga oleh amal perbuatannya seperti shalat, membayar zakat, dan puasa?

Bahkan, saya pribadi pun terkadang heran juga jika saya disuruh untuk bertobat nasuha. Dosa besar apa yang telah saya lakukan sehingga saya membutuhkan tobat nasuha? Saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah berbuat dosa. Sebaliknya, saya sering berbuat dosa sebagaimana manusia lain pada umumnya. Namun seingat saya, dosa-dosa yang saya lakukan pada umumnya bukanlah dosa besar seperti syirik, membunuh manusia, atau berzina (dalam artian pedang masuk ke dalam sarung). Jadi, jika saya harus bertobat, terkadang saya bingung, saya harus tobat dari dosa yang mana?

Namun, semuanya menjadi masuk akal jika dosa asal itu memang benar ada. Jika kita semua memang sejak awal berdosa karena kita semua ikut menikmati buah terlarang, maka menjadi masuk akal jika kita semua ikut menanggung dosa sehingga kita semua harus bertobat. Tobat tersebut bukan hanya diperlukan untuk menghapus dosa yang kita lakukan setelah  kita lahir ke dunia, namun lebih diperlukan lagi untuk menebus dosa yang dulu kita lakukan karena kita ikut menikmati buah terlarang. Dan penebusan dosa kita itu, berdasarkan yang saya pahami dari berbagai ayat KS, harus kita lalui dengan cara mengalami penderitaan (suffering). Bahkan untuk sekedar makan pun sebagian besar dari kita harus berjuang dan bersusah payah (Kejadian 3: 17-19)

Pemahaman bahwa jiwa-jiwa kita sejatinya sudah ada sejak zaman Nabi Adam, membuat saya kini lebih bisa memahami takdir. Sebelumnya saya menolak takdir atau predestinasi, karena bagi saya predestinasi adalah suatu konsep yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pemurah telah menentukan, atau bahkan memastikan setiap individu apakah ia akan masuk surga atau ia akan masuk neraka, sebelum yang bersangkutan lahir ke dunia? Takdir semacam ini akan masuk akal jika, dan hanya jika, benih jiwa-jiwa kita memang sudah ada sejak zaman Nabi Adam, sehingga Tuhan sudah mengenali karakteristik dari setiap anak Adam masing-masing. Bahkan mungkin saja ketika kita semua sama-sama bersaksi bahwa Allah adalah Rabb kita (balaa syahidna), Dia sudah mengetahui mana jiwa-jiwa yang menjawab secara tulus, dan mana jiwa-jiwa yang menjawab dengan tidak sungguh-sungguh atau hanya berpura-pura, sehingga Dia bisa menilai mana benih yang baik dan mana benih yang buruk, sehingga Dia bisa mengetahui jiwa-jiwa mana yang akan masuk surga, dan mana yang akan masuk neraka, sebelum kita semua lahir ke dunia ini.

wa Allahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gospel for the Gentiles

Dalam posting sebelumnya saya menyimpulkan bahwa Kitab Injil atau the Gospel sedianya ditujukan hanya untuk bangsa Yahudi saja. Bahkan, Injil yang asli kemungkinan ditulis dalam bahasa Ibrani, atau kalau menurut istilah Jerome disebut sebagai matthaei authenticum . Namun, karena sebagian besar bangsa Yahudi pada era Nabi Yesus menolak Yesus, maka kemudian kitab injil dialihkan kepada bangsa lain (bangsa gentiles ), dan kemudian Injil ditulis dalam bahasa gentiles , yakni bahasa Koine Greek. Lalu, karena Kitab Injil sudah diwariskan kepada bangsa gentiles, apakah berarti seluruh isi dari Kitab Injil itu harus juga dilaksanakan oleh pengikut Injil non-Yahudi alias pengikut Injil yang berasal dari bangsa gentiles ? Menurut saya tidak. Sebagian isi dari Kitab Injil tidak applicable bagi bangsa gentiles , contohnya seperti "You are the light of the World", tidak tepat kalau kata-kata ini ditujukan kepada bangsa gentiles. Atau contoh lainnya, "Jika kamu hanya memberi salam

Taurat, Injil, dan Al Furqan

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa). (QS 3:3-4) Di dalam ayat QS 3:3-4 ini Tuhan menyebutkan empat Kitab Suci sekaligus, yaitu Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad (Al Quran), Taurat, Injil, dan Al Furqan . Kita sudah tahu bahwa Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Al Quran. Tetapi apakah yang dimaksud dengan Taurat, Injil, dan Al Furqan ? Taurat dan Injil Pada umumnya, orang mengenal Kitab Taurat sebagai lima kitab pertama dari Perjanjian Lama (Pentateuch) , yaitu Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan ( Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, and Deuteronomy ) Sedangkan untuk Kitab Injil, o

Menjadi Ummatan Wasathan: Umat Pertengahan atawa Moderat

Setelah belasan tahun saya membaca dan mempelajari Kitab Injil dengan berbagai variasinya mulai dari Injil Perjanjian Baru, Injil Thomas, Injil Q, Injil Ibrani atau Hebrew Matthew , dan yang terakhir Injil Marcion, saya mendapatkan kesimpulan bahwa Kitab Injil tidak ditujukan untuk saya, dan barangkali juga tidak diperuntukkan untuk bangsa non-Israel atau bangsa gentiles seperti kita pada umumnya. Terdapat beberapa clue bahwa kitab Injil tidak ditujukan untuk bangsa gentiles , namun ia diperuntukkan untuk bangsa Yahudi atau bangsa Israel. Beberapa petunjuk bahwa Injil itu sebenarnya ditujukan untuk bani Israel adalah sebagai berikut: 1. Di dalam Al Quran, Nabi Isa menyatakan bahwa beliau diutus untuk bani Israel. (ref QS 61:6, dan 43:59). Hal senada juga terdapat dalam Injil Matius. (ref: Mat 15:24). 2. Yesus melarang murid-muridnya untuk berdakwah kepada bangsa gentiles (Mat 10:5) 3. Dalam Injil Matius, Yesus mengatakan kepada para pendengarnya (yang dapat diasumsikan adalah orang-