Kemarin pada tanggal 15 Juni 2015 di masjid di lingkungan Departemen Keuangan tepatnya di belakang Gedung Prijadi Praptosihardjo I selepas solat zuhur berlangsung ceramah mengenai rukyatul hilal dari seorang penceramah. Topiknya sangat menarik berhubung sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, dan ceramah tsb pun disampaikan dengan cara yang menarik. Hanya saja ada beberapa hal yang membuat saya tidak sependapat dengan penceramah dan menurut saya penceramah tsb tidak tepat atau tidak akurat.
Pertama, penceramah tsb menggunakan media visual berupa laptop dan sebuah projector untuk mengilustrasikan proses penampakan hilal atau bulan sabit pada awal bulan. Masalahnya, hilal yang digambarkan dalam media tsb adalah hilal sekitar tgl 5 ke atas atau hilal yang sudah berbentuk besar, bukannya hilal yg semestinya tampak pada awal bulan. Seharusnya hilal pada awal bulan hanya berupa garis tipis melengkung saja. Kemudian selain itu juga ketika beliau mendemonstrasikan proses penampakan hilal, dalam visual yg beliau tunjukkan, setelah matahati terbenam, hilal muncul dari bawah garis cakrawala di tempat matahari terbenam tsb. Visualisasi tsb tentu saja menyesatkan pemirsa yang awam krn sebenarnya hilal tidak muncul dari bawah garis cakrawala, melainkan hilal sudah berada di atas garis cakrawala dari sononya. Hilal baru nampak setelah matahari terbenam krn ketika matahari belum terbenam sinar matahari masih terlampau kuat sehingga mengalahkan cahaya bulan.
Kedua, si penceramah menyalahkan Muhammadiyah atau pihak2 lain yang menggunakan metode hisab. Saya bukan orang Muhammadiyah, tapi saya tetap menghormati Muhammadiyah. Saya yakin bahwa di dalam organisasi Muhammadiyah banyak orang alim atau orang berilmu yang paham Al Quran dan hadits, toh mereka tetap menggunakan metode hisab. Mereka pasti punya alasan kuat untuk menggunakan metode hisab.
Sang penceramah barangkali lupa bahwa mayoritas umat Islam juga menggunakan metode hisab untuk menentukan jadwal solat (dan juga jadwal imsakiyah). Hanya sedikit sekali di antara kita yang masih menggunakan metode rukyah seperti melihat matahari tergelincir untuk menentukan waktu solat zuhur atau melihat matahari terbenam untuk menentukan waktu solat magrib. Kebanyakan dari kita menggunakan jadwal solat yg sudah disusun sejak lama oleh ahli hisab dan kita tidak pernah meragukannya. Jadi, jika kita membolehkan penggunaan hisab di dalam menentukan waktu solat, lalu kenapa kita dilarang menggunakan metode hisab untuk menentukan waktu Ramadhan?
Ketiga, menurut sang penceramah tsb, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika di suatu wilayah telah melihat hilal maka ini berlaku untuk seluruh wilayah di muka bumi. Menurut beliau lagi hanya sedikit ulama yg berpendapat bahwa jika suatu wilayah melihat hilal, maka itu hanya berlaku untuk wilayah itu saja. Fakta yg saya lihat tidak seperti itu. Mayoritas ulama di Indonesia memutuskan sendiri kapan waktu ramadhan dan syawal tanpa mengikuti keputusan "sidang isbat" di Arab Saudi. Bahkan, ketika saya tugas belajar di Wollongong Australia pun, ulama2 di sana juga menetapkan sendiri awal dan akhir bukan Ramadhan tanpa mengikuti keputusan ulama di Saudi.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika kita harus menunggu keputusan di Saudi untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan. Sang penceramah berkilah bahwa perbedaan waktu antara Jakarta dan Saudi itu "hanya" empat jam saja. Si penceramah mungkin lupa bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta saja. Banyak rekan2 kita yang dinas di Papua seperti di Jayapura, Wamena, dan Merauke di mana perbedaan waktu solat antara Papua dan Saudi bisa mencapai tujuh jam. Penceramah tsb mungkin juga lupa bahwa muslim tidak hanya tinggal di Indonesia tetapi banyak juga yang tinggal di Mindanao, Australia, New Zealand, atau sedang belajar di Jepang misalnya di mana perbedaan waktu solat antara tempat2 tsb dengan Saudi bisa lebih dari tujuh jam. Artinya, ketika para ulama di Saudi telah memutuskan bahwa malam ini sudah memasuki bulan Ramadhan, bisa jadi di sana sudah masuk waktu subuh.
Saya percaya bahwa Tuhan tidak ingin menyulitkan umat-Nya. Kalau ternyata waktu awal puasa dan idul fitri memang berbeda dan perbedaan itu tidak dapat dihindari, kenapa harus dipaksakan untuk sama?
Pertama, penceramah tsb menggunakan media visual berupa laptop dan sebuah projector untuk mengilustrasikan proses penampakan hilal atau bulan sabit pada awal bulan. Masalahnya, hilal yang digambarkan dalam media tsb adalah hilal sekitar tgl 5 ke atas atau hilal yang sudah berbentuk besar, bukannya hilal yg semestinya tampak pada awal bulan. Seharusnya hilal pada awal bulan hanya berupa garis tipis melengkung saja. Kemudian selain itu juga ketika beliau mendemonstrasikan proses penampakan hilal, dalam visual yg beliau tunjukkan, setelah matahati terbenam, hilal muncul dari bawah garis cakrawala di tempat matahari terbenam tsb. Visualisasi tsb tentu saja menyesatkan pemirsa yang awam krn sebenarnya hilal tidak muncul dari bawah garis cakrawala, melainkan hilal sudah berada di atas garis cakrawala dari sononya. Hilal baru nampak setelah matahari terbenam krn ketika matahari belum terbenam sinar matahari masih terlampau kuat sehingga mengalahkan cahaya bulan.
Kedua, si penceramah menyalahkan Muhammadiyah atau pihak2 lain yang menggunakan metode hisab. Saya bukan orang Muhammadiyah, tapi saya tetap menghormati Muhammadiyah. Saya yakin bahwa di dalam organisasi Muhammadiyah banyak orang alim atau orang berilmu yang paham Al Quran dan hadits, toh mereka tetap menggunakan metode hisab. Mereka pasti punya alasan kuat untuk menggunakan metode hisab.
Sang penceramah barangkali lupa bahwa mayoritas umat Islam juga menggunakan metode hisab untuk menentukan jadwal solat (dan juga jadwal imsakiyah). Hanya sedikit sekali di antara kita yang masih menggunakan metode rukyah seperti melihat matahari tergelincir untuk menentukan waktu solat zuhur atau melihat matahari terbenam untuk menentukan waktu solat magrib. Kebanyakan dari kita menggunakan jadwal solat yg sudah disusun sejak lama oleh ahli hisab dan kita tidak pernah meragukannya. Jadi, jika kita membolehkan penggunaan hisab di dalam menentukan waktu solat, lalu kenapa kita dilarang menggunakan metode hisab untuk menentukan waktu Ramadhan?
Ketiga, menurut sang penceramah tsb, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika di suatu wilayah telah melihat hilal maka ini berlaku untuk seluruh wilayah di muka bumi. Menurut beliau lagi hanya sedikit ulama yg berpendapat bahwa jika suatu wilayah melihat hilal, maka itu hanya berlaku untuk wilayah itu saja. Fakta yg saya lihat tidak seperti itu. Mayoritas ulama di Indonesia memutuskan sendiri kapan waktu ramadhan dan syawal tanpa mengikuti keputusan "sidang isbat" di Arab Saudi. Bahkan, ketika saya tugas belajar di Wollongong Australia pun, ulama2 di sana juga menetapkan sendiri awal dan akhir bukan Ramadhan tanpa mengikuti keputusan ulama di Saudi.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika kita harus menunggu keputusan di Saudi untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan. Sang penceramah berkilah bahwa perbedaan waktu antara Jakarta dan Saudi itu "hanya" empat jam saja. Si penceramah mungkin lupa bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta saja. Banyak rekan2 kita yang dinas di Papua seperti di Jayapura, Wamena, dan Merauke di mana perbedaan waktu solat antara Papua dan Saudi bisa mencapai tujuh jam. Penceramah tsb mungkin juga lupa bahwa muslim tidak hanya tinggal di Indonesia tetapi banyak juga yang tinggal di Mindanao, Australia, New Zealand, atau sedang belajar di Jepang misalnya di mana perbedaan waktu solat antara tempat2 tsb dengan Saudi bisa lebih dari tujuh jam. Artinya, ketika para ulama di Saudi telah memutuskan bahwa malam ini sudah memasuki bulan Ramadhan, bisa jadi di sana sudah masuk waktu subuh.
Saya percaya bahwa Tuhan tidak ingin menyulitkan umat-Nya. Kalau ternyata waktu awal puasa dan idul fitri memang berbeda dan perbedaan itu tidak dapat dihindari, kenapa harus dipaksakan untuk sama?
Komentar
Posting Komentar