Sejak sekitar 30 tahun yang lalu, atau tepatnya ketika saya masih duduk di bangku SMA, ketika saya sedang getol-getolnya belajar agama dan aktif di kegiatan rohani islam (rohis) di SMA saya, saya sudah dibuat galau oleh sebuah hadits populer yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, dan termasuk salah satu hadits dalam Hadits Arbain. Menurut hadits Ibnu Mas'ud tersebut, setiap manusia sudah ditakdirkan nasibnya, rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah ia akan celaka atau bahagia. Sehingga adakalanya seseorang yang pada awal masa hidupnya banyak melakukan perbuatan baik, namun karena ia sudah ditakdirkan untuk masuk neraka maka pada akhirnya orang tersebut melakukan perbuatan jahat, sehingga orang tsb akhirnya masuk neraka. Demikian juga sebaliknya.
Sejak mengetahui hadits tsb, hati saya dibuat gundah gulana karena hadits tersebut seolah-olah bertabrakan dengan akal pikiran saya. Bukankah Tuhan itu Maha Adil, tapi kok seolah-olah Tuhan menetapkan nasib manusia secara acak (arbitrary), karena Dia sudah menetapkan nasib seseorang bahkan sebelum orang tersebut lahir ke muka bumi? Tampaknya antara takdir (atau predestinasi) dengan keadilan Tuhan adalah dua hal yang sangat sulit untuk dikompromikan.
Ketika itu saya sudah berusaha untuk menanyakan masalah takdir kepada "murabi" saya, namun saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Saya juga berusaha mencari penjelasannya dalam buku-buku ahli sunnah, ataupun membaca lewat artikel, namun saya pun tetap tidak mendapatkan jawaban yang saya inginkan. Bahkan terkesan bahwa konsep takdir versi Ahli Sunnah wal Jama'ah, khususnya dari Hasan Asy'ari, tidak jauh berbeda dengan konsep takdir versi Jabariyah. Sementara konsep takdir versi Jabariyah ini adalah takdir yang memaksa, artinya jika seseorang sudah ditakdirkan untuk masuk neraka maka celakah ia, karena tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan oleh orang tersebut untuk mengubah takdirnya, dan bagaimanapun juga orang tersebut tetap akan masuk neraka pada akhirnya. Inilah konsep takdir yang selama ini tidak bisa saya terima dengan akal pikiran saya.
Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian saya mencari alternatif lain. Dengan kata lain, saya mencoba untuk mempelajari Islam dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut pandang golongan selain Ahli Sunnah wal Jama'ah (sunni). Saya membaca/mempelajari antara lain dari golongan ingkar sunnah (Quranist), muktazilah, syiah, dan lain-lain. Bahkan saya juga membaca/mempelajari Alkitab. Dan yang terakhir, saya membaca tulisan/buku dari rabbi-rabbi Yahudi. Alhamdulillah, saya mendapatkan pencerahan. Namun, hal ini seperti kisah pedagang miskin dari Swaffham, Norfolk, yang bermimpi bahwa dia akan mendapatkan harta karun yang banyak jika dia pergi ke jembatan London Bridge. Maka kemudian si pedagang miskin tsb pergi ke London Bridge. Sesampainya di jembatan London, si pedagang miskin tsb hanya menunggu saja di jembatan London, sampai berhari-hari lamanya, namun ia tidak kunjung mendapatkan harta karun yang dijanjikan di dalam mimpinya tersebut. Karena bekalnya sudah hampir habis, pedagang tsb putus asa dan ia mempertimbangkan untuk pulang ke rumahnya di Swaffham, Norfolk. Namun, kebetulan sekali, sebelum pedagang tsb memutuskan untuk pergi dari jembatan London, ia ditanya oleh seorang pemilik toko yang ternyata selama beberapa hari ini memperhatikan si pedagang yang hanya melamun di jembatan london selama beberapa hari. Dengan jujur si pedagang dari Swaffham menjawab bahwa ia bermimpi bahwa ia akan mendapatkan harta karun yang banyak jika ia pergi ke London Bridge. Mendengar hal itu, si pemilik toko tertawa terbahak-bahak mendengarkan pengakuan si pedagang dari Swaffham yang dianggapnya bodoh. Lalu kata si pemilik toko, "Dengar, saya pun pernah bermimpi dan dalam mimpi saya dikatakan bahwa saya akan mendapatkan harta karun berlimpah jika saya menggali tanah di dekat pohon di rumah seorang pedagang di Swaffham. Tapi saya tidak cukup bodoh untuk pergi jauh-jauh ke Swaffham. Bahkan saya tidak tahu dimana Swaffham itu". Mendengarkan hal tersebut, si pedagang dari Swaffham langsung memahami apa arti dari mimpinya tersebut, sehingga ia cepat-cepat kembali ke rumahnya di Swaffham. Sesampainya di rumah, dia langsung menggali tanah di dekat pohon yang ada di rumahnya. Dan benar saja, pedagang tsb akhirnya berhasil menemukan harta karun yang selama ini tersembunyi di belakang rumahnya tsb. Dan pada akhirnya si pedagang menjadi kaya raya.
Pengalaman spiritual saya dalam memahami hadits tentang takdir yang tadinya saya pikir tidak masuk akal mirip seperti kisah si pedagang dari Swaffham. Saya pergi meninggalkan hadits-hadits tentang takdir dari golongan sunni karena saya pikir hadits-hadits tsb tidak masuk akal. Saya mengembara ke ranah golongan lain seperti anti hadits, muktazilah, dan juga syiah yang menurut saya memberikan persepsi yang lebih masuk akal tentang takdir. Saya juga membaca Alkitab, khususnya Kitab Yehezkiel 33, yang menjelaskan tentang "takdir" dengan cara yang jauh lebih masuk akal ketimbang hadits versi Ibnu Mas'ud. Dan akhirnya saya membaca tulisan dari seorang rabbi Yahudi dari buku yang saya beli di amazon berjudul The Greatest Story Never Told - Torah: Not for Jews Only dari Rabbi Ariel B. Tzadok. Secara hampir bersamaan saya mendalami beberapa bab awal dari Kitab Kejadian (Genesis) khususnya dari Pasal 1 sampai Pasal 9, particularly Genesis Pasal 4, yang selama ini sudah sering saya baca namun terlewat begitu saja, namun belakangan saya baru menyadari betapa pentingnya beberapa ayat dalam Pasal 4 Kitab Kejadian ini. Saya juga membaca penjelasannya dari Genesis Midrash Rabbah, Mishna Sanhedrin 4:5, dan juga Targum Onkelos.
Nah, setelah banyak membaca dari berbagai sumber tersebut, saya justru bisa melihat hadits Ibnu Mas'ud dari sudut pandang lain. Hadits Ibnu Mas'ud yang tadinya saya anggap tidak masuk akal, sekarang menjadi bisa diterima akal. Kini saya bisa merasa bahwa saya bisa memahami beberapa hadits sulit dan juga beberapa ayat Al Quran (seperti Al Alaq ayat 2 dan Al A'raaf ayat 172) dengan lebih baik, setelah saya membaca Alkitab. Alhamdulillah.
Pencerahan apa yang saya dapatkan dari buku Torah: Not for Jews Only karya Rabbi Ariel Tzadok? Antara lain bahwa menurut beliau, Adam itu bukanlah satu jiwa (souls) melainkan kumpulan jiwa (collective souls) dari seluruh anak keturunannya. Dan ini sejalan dengan sebuah hadits yg menyatakan bahwa konon Tuhan menepuk punggung Adam dan kemudian keluarlah seluruh anak Adam hingga akhir zaman kelak.
Jika hal ini dihubungkan dengan hadits takdir versi Ibnu Mas'ud, maka hadits versi Ibnu Mas'ud menjadi masuk akal, karena cikal bakal kita semua sudah ada sejak zaman baheula, sehingga sangat wajar jika Tuhan sudah mengetahui kecenderungan dari setiap jiwa yang diciptakan-Nya. Wa Allahu a'lam
Komentar
Posting Komentar